Sabtu, 14 April 2012

Teori Kebenaran

A. Latar Belakang Masalah.

Manusia selalu mencari kebenaran, jika manusia mengerti dan memahami kebenaran, sifat asasinya terdorong pula untuk melaksankan kebenaran itu. Sebaliknya pengetahuan dan pemahaman tentang kebenran, tanpa melaksankan konflik kebenaran, manusia akan mengalami pertentangan batin, konflik spilogis. Karena di dalam kehidupan manusia sesuatu yang dilakukan harus diiringi akan kebenaran dalam jalan hidup yang dijalaninya dan manusia juga tidak akan bosan untuk mencari kenyataan dalam hidupnya yang dimana selalu ditunjukkan oleh kebanaran.

Pendidikan pada umumnya dan ilmu pengetahuan pada khususnya mengemban tugas utama untuk menemukan, pengembangan, menjelaskan, menyampaikan nilai-nilai kebenaran. Semua orang yang berhasrat untuk mencintai kebenaran, bertindak sesuai dengan kebenaran. Kebenaran adalah satu nilai utama di dalam kehidupan human. Sebagai nilai-nilai yang menjadi fungsi rohani manusia. Artinya sifat manusiawi atau martabat kemanusiaan (human dignity) selalu berusaha “memeluk” suatu kebenaran.

Kebenaran sebagai ruang lingkup dan obyek pikir manusia sudah lama menjadi penyelidikan manusia. Manusia sepanjang sejarah kebudayaannya menyelidiki secara terus menerus apakah hakekat kebenaran itu?

Jika manusia mengerti dan memahami kebenaran, sifat asasinya terdorong pula untuk melaksanakan kebenaran itu. Sebaliknya pengetahuan dan pemahaman tentang kebenaran, tanpa melaksanakan kebenaran tersebut manusia akan mengalami pertentangan batin, konflik spikologis. Menurut para ahli filsafat itu bertingkat-tingkat bahkan tingkat-tingkat tersebut bersifat hirarkhis. Kebenaran yang satu di bawah kebenaran yang lain tingkatan kualitasnya ada kebenaran relatif, ada kebenaran mutlak (absolut). Ada kebenaran alami dan ada pula kebenaran illahi, ada kebenaran khusus individual, ada pula kebenaran umum universal.

B. Rumusan Masalah.

1. Apa yang dimaksud dengan kebenaran itu?

2. Ada berapa macamkah kebenaran itu?

3. Bagaimanakah teori kebenaran menurut filsafat?

C. Pembahasan.

1. Definisi Kebenaran.

Apakah kebenaran itu? Inilah yang lebih lanjut harus dihadapi di dalam filsafat ilmu. Hal kebenaran sesungguhnya merupakan tema sentral di dalam filsafat ilmu. Secara umum orang merasa bahwa tujuan pengetahuan adalah untuk mencapai kebenaran. Rasanya lebih tepat kalu pertanyaan kemudian dirumuskan menjadi apakah pengetahuan yang benar itu?

Problematika mengenai kebenaran, seperti halnya problematic tentang pengetahuan, merupakan masalah-masalah yang mengacu pada tumbuh dan berkembangnya dalam filsafat ilmu. Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia yang ditulis oleh Purwadarminta ditemukan arti kebenaran yakni:

a. Keadaan (hal dan sebagainya) yang benar (cocok dengan hal atau keadaan yang sesungguhnya); misal, kebenaran beita ini masih saya sangsikan; kita harus berani membelan kebenaran dan keadilan.

b. Sesuatu yang benar (sungguh-sungguh ada, betul-betul demikian halnya dan sebagainya); misal, kebenaran-kebenaran yang diajarkan oleh agama.

c. Kejujuran; kelurusan hati; misal tidak ada seorang pun yang sangsi akan kebaikan dan kebenaran hatimu.

d. Selalu izin; perkenaan; misal, dengan kebenaran yang dipertuan.

e. Jalan kebetulan; misal, penjahat itu dapat dibekuk dengan cara kebenaran saja.

Dalam kehidupan manusia, kebenaran adalah fungsi rohaniah. Manusia di dalam kepribadian dan kesadarannya tak mungkin tanpa kebenaran.

Berdasarkan scope potensi subjek, maka susunan tingkatan kebenaran itu menjadi :

a. Tingkatan kebenaran indera adalah tingakatan yang paling sederhana dan pertama yang dialami manusia.

b. Tingkatan ilmiah, pengalaman-pengalaman yang didasarkan disamping melalui indera, diolah pula dengan rasio.

c. Tingkat filosofis, rasio dan pikir murni, renungan yang mendalam mengolah kebenaran itu semakin tinggi nilainya.

d. Tingkatan religius, kebenaran mutlak yang bersumber dari Tuhan yang Maha Esa dan dihayati oleh kepribadian dengan integritas dengan iman dan kepercayaan.

Keempat tingkat kebenarna ini berbeda-beda wujud, sifat dan kualitasnya bahkan juga proses dan cara terjadinya, disamping potensi subyek yang menyadarinya. Potensi subyek yang dimaksud disini ialah aspek kepribadian yang menangkap kebenaran itu. Misalnya pada tingkat kebenaran indera, potensi subyek yang menangkapnya ialah panca indra.

Kebenaran itu ialah fungsi kejiwaan, fungsi rohaniah. Manusia selalu mencari kebenaran itu, membina dan menyempurnakannya sejalan dengan kematangan kepribadiannya.

Ukuran Kebenarannya :

- Berfikir merupakan suatu aktifitas manusia untuk menemukan kebenaran.

- Apa yang disebut benar oleh seseorang belum tentu benar bagi orang lain.

- Oleh karena itu diperlukan suatu ukuran atau kriteria kebenaran.

2. Jenis-jenis Kebenaran.

Telaah dalam filsafat ilmu, membawa orang kepada kebenaran dibagi dalam tiga jenis. Menurut A.M.W. Pranarka (1987) tiga jenis Kebenaran itu adalah:

a. Kebenaran epstimologikal.

b. Kebenaran ontological.

c. Kebenaran semantikal.

Kebenaran epstimogikal adalah pengertian kebenaran dalam hubungannya dengan pengetahuan manusia. Kadang disebut dengan istilah veritas cognition ataupun veritas logica. Kebenaran dalam arti ontological adalah kebenaran sebagai sifat dasar yang melekat kepada segala sesuatu yang ada ataupun diadakan. Apabila dihubungkan dengan kebenaran epstimologikal kadang-kadang disebut juga kebenaran sebagai sifat dasar yang ada di dalam objek pengetahuan itu sendiri. Adapun kebenaran dalam arti semantikal adalah kebenaran yang terdapat serta melekat di dalam tutur kata dan bahasa. Kebenaran semantikal disebut juga kebenaran moral (veritas moralis) karena apakah tutur kata dan bahasa itu mengkhianati atau tidak terhadap kebenaran epstimologikal atau pun kebenaran ontological tergantung kepada manusianya yang mempunyai kemerdekaan untuk menggunakan tutur kata atau pun bahasa itu. Apabila kebenaran epstimologikal terletak di dalam adanya kemanunggalan yang sesuai serasi terpadu antara apa yang dinyatakan oleh proses cognitive intelektual manusia dengan apa yang sesungguhnya ada di dalam objek (yang disebut esse reale rei), apakah itu konkret atau abstrak, maka implikasinya bahwa di dalam esse reale rei tersebut memang terkandung suatu sifat intelligibilitas (dapat diketahui kebenarannya). Hal adanya intelligibilitas sebagai kodrat yang melekat di dalam objek, di dalam benda, barang, makhluk dan sebagainya sebagai objek potensial maupun riil dari pengetahuan cognitif intelektual manusia itulah yang disebut kebenaran ontological, ialah sifat benar yang melekat di dalam objek. Berbagai Kebenaran dalam Tim Dosen Filsafat Ilmu Fak. Filsafat UGM Yogyakarta (1996) dibedakan menjadi tiga hal, yakni sebagai berikut: a. Kebenaran berkaitan dengan kualitas pengetahuan. Artinya, setiap pengetahuan yang dimiliki oleh seseorang yang mengetahui sesuatu objek ditilik dari jenis pengetahuan yang dibangun. Maksudnya apakah pengetahuan itu berupa: a.1. Pengetahuan biasa atau biasa disebut knowledge of the man in the street atau ordinary knowledge atau common sense knowledge. Pengetahuan seperti ini memiliki inti kebenaran yang sifatnya subjektif, artinya amat terikat pada subjek yang mengenal. a.2. Pengetahuan ilmiah, yaitu pengetahuan yang telah menetapkan objek yang khas atau spesifik dengan menerapkan metodologi yang telah mendapatkan kesepaka- tan di antara ahli yang sejenis. Kebenaran yang terkandung dalam pengetahuan ilmiah bersifat relatif, artinya kandungan kebenaran dari jenis pengetahuan ilmiah selalu mendapatkan revisi yaitu selalu diperkaya oleh hasil penemuan yang mutakhir. a.3. Pengetahuan filsafat, yaitu jenis pengetahuan yang pendekatannya melalui meto- dologi pemikiran filsafati, yang sifatnya mendasar dan menyeluruh dengan model pemikiran yang analitis, kritis, dan spekulatif. a.4. Pengetahuan agama, memiliki sifat dogmatis artinya pernyataan dalam suatu agama selalu dihampiri oleh keyakinan yang telah tertentu sehingga pernyataan da- lam ayat kitab suci agama memilki nilai kebenaran sesuai dengan keyakinan yang di- gunakan untuk memahaminya. b. Kebenaran dikaitkan dengan sifat atau karakteristik dari bagaimana cara atau dengan alat apa kah seseorang membangun pengetahuannya. Apakah ia membangun dengan pengindraan atau dengan akal piker atau rasio, intuisi, atau keyakinan. Implikasai dari penggunaan alat untuk memperoleh pengetahuan melalui alat tertentu akan mengakibatkan karaktristik ke- benaran yang dikandung oleh pengetahuan akan memilki cara tertentu untuk membuktikan- nya, artinya jika seseorang membangunnya melalui indra, pada saat membuktikan ke- benaran pengetahuan harus melalui indra pula, begitu juga dengan cara yang lain. c. Kebenaran yang dikaitkan atas ketergantungan terjadinya pengetahuan, artinya bagaimana relasi atau hubungan antara subjek dan objek, manakah yang dominan untuk membangun pengetahuan, subjekkah atau objek. Jika subjek yang berperan maka jenis pengetahuan itu mengandung nilai kebenaran yang sifatnya sunjektif, begitu pun sebaliknya.

3. Teori-Teori Kebenaran.

a. Teori Corespondence

Masalah kebenaran menurut teori ini hanyalah perbandingan antara realita obyek (informasi, fakta, peristiwa, pendapat) dengan apa yang ditangkap oleh subjek (ide, kesan). Jika ide atau kesan yang dihayati subjek (pribadi) sesuai dengan kenyataan, realita, objek, maka sesuatu itu benar.

Teori korespodensi (corespondence theory of truth) menerangkan bahwa kebenaran atau sesuatu kedaan benar itu terbukti benar bila ada kesesuaian antara arti yang dimaksud suatu pernyataan atau pendapat dengan objek yang dituju/ dimaksud oleh pernyataan atau pendapat tersebut.

Kebenaran adalah kesesuaian pernyataan dengan fakta, yang berselarasan dengan realitas yang serasi dengan situasi aktual. Dengan demikian ada lima unsur yang perlu yaitu :

a.1. Statement (pernyataan)

a.2. Persesuaian (agreemant)

a.3. Situasi (situation)

a.4. Kenyataan (realitas)

a.5. Putusan (judgements)

Kebenaran adalah fidelity to objektive reality (kesesuaian pikiran dengan kenyataan). Teori ini dianut oleh aliran realis. Pelopornya plato, aristoteles dan moore dikembangkan lebih lanjut oleh Ibnu Sina, Thomas Aquinas di abad skolatik, serta oleh Bernard Russel pada abad moderen.

Cara berfikir ilmiah yaitu logika induktif menggunakan teori korespodensi ini. Teori kebenaran menurut corespondensi ini sudah ada di dalam masyarakat sehingga pendidikan moral bagi anak-anak ialah pemahaman atas pengertian-pengertian moral yang telah merupakan kebenaran itu. Apa yang diajarkan oleh nilai-nilai moral ini harus diartikan sebagai dasar bagi tindakan-tindakan anak di dalam tingkah lakunya.

Artinya anak harus mewujudkan di dalam kenyataan hidup, sesuai dengan nilai-nilai moral itu. Bahkan anak harus mampu mengerti hubungan antara peristiwa-peristiwa di dalam kenyataan dengan nilai-nilai moral itu dan menilai adakah kesesuaian atau tidak sehingga kebenaran berwujud sebagai nilai standar atau asas normatif bagi tingkah laku. Apa yang ada di dalam subyek (ide, kesan) termasuk tingkah laku, harus dicocokkan dengan apa yang ada di luar subyek (realita, obyek, nilai-nilai) bila sesuai maka itu benar.

Misalnya pengetahuan `air akan menguap jika dipanasi sampai dengan 100 derajat`. Pengetahuan tersebut dinyatakan benar kalau kemudian dicoba memanasi air dan diukur sampai seratus derajat, apakah air menguap! Jika terbukti tidak menguap maka pengetahuan tersebut dinyatakan salah, dan jika terbukti air menguap, maka pengetahuan tersebut dinyatakan benar.

b. Teori Consistency

Teori ini merupakan suatu usaha pengujian (test) atas arti kebenaran. Hasil test dan eksperimen dianggap relible jika kesan-kesan yang berturut-turut dari satu penyelidik bersifat konsisten dengan hasil test eksperimen yang dilakukan penyelidik lain dalam waktu dan tempat yang lain.

Menurut teori consistency untuk menetapkan suatu kebenaran bukanlah didasarkan atas hubungan subyek dengan realitas obyek. Sebab apabila didasarkan atas hubungan subyek (ide, kesannya dan comprehensionnya) dengan obyek, pastilah ada subyektivitasnya. Oleh karena itu pemahaman subyek yang satu tentang sesuatu realitas akan mungkin sekali berbeda dengan apa yang ada di dalam pemahaman subyek lain. Teori ini dipandang sebagai teori ilmiah yaitu sebagai usaha yang sering dilakukan di dalam penelitian pendidikan khsusunya di dalam bidang pengukuran pendidikan.

Teori konsisten ini tidaklah bertentangan dengan teori korespondensi. Kedua teori ini lebih bersifat melengkapi. Teori konsistensi adalah pendalaman dan kelanjutan yang teliti dari teori korespondensi. Teori korespondensi merupakan pernyataan dari arti kebenaran. Sedah teori konsistensi merupakan usaha pengujian (test) atas arti kebenaran tadi.

Teori koherensi (the coherence theory of trut) menganggap suatu pernyataan benar bila di dalamnya tidak ada pertentangan, bersifat koheren dan konsisten dengan pernyataan sebelumnya yang telah dianggap benar. Dengan demikian suatu pernyataan dianggap benar, jika pernyataan itu dilaksanakan atas pertimbangan yang konsisten dan pertimbangan lain yang telah diterima kebenarannya. Rumusan kebenaran adalah truth is a sistematis coherence dan truth is consistency. Jika A = B dan B = C maka A = C

Logika matematik yang deduktif memakai teori kebenaran koherensi ini. Logika ini menjelaskan bahwa kesimpulan akan benar, jika premis-premis yang digunakan juga benar. Teori ini digunakan oleh aliran metafisikus rasional dan idealis.

Teori ini sudah ada sejak Pra Socrates, kemudian dikembangan oleh Benedictus Spinoza dan George Hegel. Suatu teori dianggap benar apabila telah dibuktikan (klasifikasi) benar dan tahan uji. Kalau teori ini bertentangan dengan data terbaru yang benar atau dengan teori lama yang benar, maka teori itu akan gugur atau batal dengan sendirinya. Sebagai contoh, kita mempunyai pengetahuan bahwa runtuhnya kerajaan Majapahit adalah tahun 1478. Dalam hal ini kita tidak dapat membuktikan secara langsung dari isi pengetahuan itu, melainkan hanya dapat membuktikan melalui hubungan dengan proposi yang terdahulu, baik dalam buku-buku sejarah atau peniggalan sejarah yang mengungkapkan kejadian itu.

c. Teori Pragmatisme

Paragmatisme menguji kebenaran dalam praktek yang dikenal para pendidik sebagai metode project atau metode problem solving di dalam pengajaran. Mereka akan benar-benar, hanya jika mereka berguna mampu memecahkan problem yang ada. Artinya sesuatu itu benar, jika mengembalikan pribadi manusia di dalam keseimbangan dalam keadaan tanpa persoalan dan kesulitan. Sebab tujuan utama pragmatisme ialah supaya manusia selalu ada di dalam keseimbangan, untuk ini manusia harus mampu melakukan penyesuaian dengan tuntutan-tuntutan lingkungan. Dalam dunia pendidikan, suatu teori akan benar jika ia membuat segala sesutu menjadi lebih jelas dan mampu mengembalikan kontinuitas pengajaran, jika tidak, teori ini salah.

Jika teori itu praktis, mampu memecahkan problem secara tepat barulah teori itu benar. Yang dapat secara efektif memecahkan masalah itulah teori yang benar (kebenaran). Teori pragmatisme (the pragmatic theory of truth) menganggap suatu pernyataan, teori atau dalil itu memiliki kebenaran bila memiliki kegunaan dan manfaat bagi kehidupan manusia.

Kaum pragmatis menggunakan kriteria kebenarannya dengan kegunaan (utility) dapat dikerjakan (workobility) dan akibat yang memuaskan (satisfaktor consequence). Oleh karena itu tidak ada kebenaran yang mutak/ tetap, kebenarannya tergantung pada manfaat dan akibatnya.

Akibat / hasil yang memuaskan bagi kaum pragmatis adalah :

a. Sesuai dengan keinginan dan tujuan

b. Sesuai dengan teruji dengan suatu eksperimen

c. Ikut membantu dan mendorong perjuangan untuk tetap eksis (ada)

Teori ini merupakan sumbangan paling nyata dari pada filsuf Amerika, tokohnya adalah Charles S. Pierce (1914-1939) dan diikuti oleh Wiliam James dan John Dewey (1852-1859).

Wiliam James misalnya menekankan bahwa suatu ide itu benar terletak pada konsekuensi, pada hasil tindakan yang dilakukan. Bagi Dewey konsekuensi tidaklah terletak di dalam ide itu sendiri, malainkan dalam hubungan ide dengan konsekuensinya setelah dilakukan. Teory Dewey bukanlah mengerti obyek secara langsung (teori korepondensi) atau cara tak langsung melalui kesan-kesan dari pada realita (teori konsistensi). Melainkan mengerti segala sesuatu melalui praktek di dalam program problem solving. Misal pengetahuan naik bis, lalu akan turun dan bilang kepada kondektur `kiri`, kemudian bis berhenti diposisi kiri. Dengan berhenti di posisi kiri, penumpang bias turun dengan selamat. Jadi mengukur kebenaran bukan dilihat bukan karena bis berhenti di posisi kiri, namun penumpang bias turun dengan selamat karena berhenti di posisi kiri.

d. Kebenaran Religius

Kebenaran adalah kesan subjek tentang suatu realita, dan perbandingan antara kesan dengan realita objek. Jika keduanya ada persesuaian, persamaan maka itu benar.

Kebenaran tak cukup hanya diukur dengan rasio dan kemauan individu. Kebenaran bersifat objective, universal, berlaku bagi seluruh umat manusia, karena kebenaran ini secara ontologis dan axiologis bersumber dari Tuhan yang disampaikan melalui wahyu.

Nilai kebenaran mutlak yang bersumber dari Tuhan itu adalah objektif namun bersifat super rasional dan super individual. Bahkan bagi kaum religius kebenaran illahi ini adalah kebenaran tertinggi, dimana semua kebenaran (kebenaran indera, kebenaran ilmiah, kebenaran filosofis) taraf dan nilainya berada di bawah kebenaran ini :

Agama sebagai teori kebenaran, Ketiga teori kebenaran sebelumnya menggunakan alat, budi, fakta, realitas dan kegunaan sebagai landasannya. Dalam teori kebenaran agama digunakan wahyu yang bersumber dari Tuhan. Sebagai makluk pencari kebenaran, manusia mencari dan menemukan kebenaran melalui agama. Dengan demikian, sesuatu dianggap benar bila sesuai dan koheren dengan ajaran agama atau wahyu sebagai penentu kebenaran mutlak. Agama dengan kitab suci dan haditsnya dapat memberikan jawaban atas segala persoalan manusia, termasuk kebenaran.

e. Teori kebenaran berdasarkan Arti (Semantic Theory of Truth)

Proposi itu ditinjau dari segi artinya atau maknanya. Apakah proposisi yang merupakan pangkal tumpunya itu mempunyai referen yang jelas. Oleh sebab itu, teori ini mempunyai tugas untuk menguakkan kesahan dari proposisi dalam referensinya. Teori kebenaran semantik dianut oleh paham filsafat analitika bahasa yang dikembangkan paska filsafat Bertrand Russel sebagai tokoh pemula dari filsafat Analitika Bahasa. Misalnya filsafat secara etimologi berasal dari bahasa Yunani philosophia yang berarti cinta akan kebijaksanaan. Pengetahuan tersebut dinyatakan benar kalau ada referensi yang jelas. Jika tidak mempunyai referensi yang jelas maka pengetahuan tersebut salah.

f. Teori kebenaran sintaksis

Para penganut teori kebenaran sintaksis, berpangkal tolak pada keteraturan sintaksis atau gramatika yang dipakai oleh suatu pernyataan atau tata bahasa yang melekatnya. Dengan demikian suatu pernyataan memiliki nilai benar apabila pernyataan itu mengikuti aturan-aturan sintaksis yang baku. Atau dengan kata lain apabila proposisi itu tidak mengikuti syarat atau keluar dari hal yang disyaratkan maka proposisi tidak mempunyai arti. Teori ini berkembang di antara filsuf analisis bahasa, terutama yang begitu ketat terhadap pemakaian gramatika. Misalnya suatu kalimat standar harus ada subjek dan predikat. Jika kalimat tidak ada subjek maka kalimat itu dinyatakan tidak baku atau bukan kalimat. Seperti `semua korupsi` ini bukan kalimat standar karena tidak ada subjeknya.

g. Teori kebenaran nondeskripsi

Teori kebenaran non deskripsi dikembangkan oleh penganut filsafat fungsionalisme. Karena pada dasarnya suatu statement atau pernyataan akan mempunyai nilai benar yang amat tergantung pada peran dan fungsi dari pernyataan itu. Jadi, pengetahuan akan memiliki niali benar sejauh pernyataan itu memiliki fungsi yang amat praktis dalam kehidupan sehari- hari.

h. Teori kebenaran logic yang berlebihan (Logical superfluity of truth)

Teori ini dikembangkan oleh kaum positivistik yang diawali oleh Ayer. Pada dasarnya menurut teori ini, problema kebenaran hanya merupakan kekacauan bahasa saja dan hal ini mengakibatkan suatu pemborosan, karena pada dasarnya apa yang hendak dibuktikan kebenarannya memiliki drajat logis yang masing-masing saling melingkupinya.

D. Kesimpulan

Bahwa kebenaran itu sangat ditentukan oleh potensi subyek kemudian pula tingkatan validitas. Kebenaran ditentukan oleh potensi subyek yang berperanan di dalam penghayatan atas sesuatu itu.

Bahwa kebenaran itu adalah perwujudan dari pemahaman (comprehension) subjek tentang sesuatu terutama yang bersumber dari sesuatu yang diluar subyek itu realita, perisitwa, nilai-nilai (norma dan hukum) yang bersifat umum.

Bahwa kebenaran itu ada yang relatif terbatas, ada pula yang umum. Bahkan ada pula yang mutlak, abadi dan universal. Wujud kebenaran itu ada yang berupa penghayatan lahiriah, jasmaniah, indera, ada yang berupa ide-ide yang merupakan pemahaman potensi subjek (mental,rasio, intelektual).

Bahwa substansi kebenaran adalah di dalam antar aksi kepribadian manusia dengan alam semesta. Tingkat wujud kebenaran ditentukan oleh potensi subjek yang menjangkaunya.

Semua teori kebenaran itu ada dan dipraktekkan manusia di dalam kehidupan nyata. Yang mana masing-masing mempunyai nilai di dalam kehidupan manusia.

E. Kesimpulan.

Sumantri Surya. 1994. Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan

Syam, Muhammad Noor. 1988. Filsafat Kependidikan dan Dasar Filsafat Pendidikan Pancasila. Surabaya: Usaha Nasional

Surajiyo.2007. Filsafat Ilmu dan Perkembangannya di Indonesia. Jakarta: Bumi Aksara

Tidak ada komentar: